A. PENGERTIAN WELFARESTATE
Pengertian
welfare state, Welfarestate atau negara kesejahteraan
adalah negara yang pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan
rakyat. Dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya harus didasarkan pada lima
pilar kenegaraan, yaitu : Demokrasi (Democracy). Penegakan Hukum (Rule of Law),
perlindungan Hak Asasi Manusia, Keadilan Sosial (Social Juctice) dan anti
diskriminasi
Ide mengenai sistem
kesejahteraan negara yang berkembang di Indonesia biasanya lebih sering bernuansa
negatif ketimbang positif. Misalnya, sering kita dengar bahwa sistem
kesejahteraan negara adalah pendekatan yang boros, tidak kompatibel dengan
pembangunan ekonomi, dan menimbulkan ketergantungan pada penerimanya (beneficiaries).
Akibatnya, tidak sedikit yang beranggapan bahwa sistem ini telah menemui
ajalnya, alias sudah tidak dipraktekan lagi di negara manapun. Meskipun
anggapan ini jarang disertai argumen dan riset yang memadai. banyak orang
menjadi kurang berminat membicarakan, dan apalagi, memperhitungkan pendekatan
ini.
B. PENCETUS
Pencetus teori welfare
state, Prof. Mr. R. Kranenburg, menyatakan bahwa negara harus secara
aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh
masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu
tapi seluruh rakyat. Maka akan sangat ceroboh jika pembangnan ekonomi
dinafikan, kemudian pertumbuhan ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan
pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah indikator yang sesungguhnya
C. KONSEP
DAN DEFINISI
Sebelum mendiskusikan apa
itu welfare state (kesejahteraan negara), ada baiknya dibahas
sejenak konsep kesejahteraan (welfare) yang sering diartikan berbeda
oleh orang dan negara yang berbeda. Merujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy
dan Livermore (2000), Thompson (2005), Suharto, (2005a), dan Suharto (2006),
pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna:
1.
Sebagai kondisi sejahtera (well-being).
Pengertian ini biasanya
menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi
terpenuhinya kebutuhan material dan non-material.
Kondisi sejahtera terjadi
manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan
dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan
pendapatan dapat dipenuhi;
serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari
resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.
2.
Sebagai pelayanan sosial.
Di Inggris, Australia dan
Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan
sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan
pelayanan sosial personal (personal social services).
3. Sebagai
tunjangan sosial
Khususnya
di Amerika Serikat (AS), diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar
penerima welfare adalah orangorang miskin, cacat, penganggur,
keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan,
seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat
disebut
4.
Sebagai proses atau usaha terencana
Yang
dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun
badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian
pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan
sosial (pengertian ketiga).
Pengertian tentang
kesejahteraan negara tidak dapat dilepaskan dari empat definisi kesejahteraan
di atas. Secara substansial, kesejahteraan negara mencakup pengertian
kesejahteraan yang pertama, kedua, dan keempat, dan ingin menghapus citra
negatif pada pengertian yang ketiga. Dalam garis besar, kesejahteraan negara
menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam
memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.
Di Inggris, konsep welfare
state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap
menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi
orang-orang miskin (Suharto, 1997; Spicker, 2002). Berbeda dengan sistem dalam
the Poor Law, kesejahteraan negara difokuskan pada penyelenggaraan sistem
perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari
adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan
kewajiban negara (state obligation), di pihak lain. Kesejahteraan negara
ditujukan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk –
orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat
mungkin. Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan
jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being)
warga negara secara adil dan berkelanjutan.
Negara kesejahteraan
sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di
banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (socialprotection)
yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi
sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).
D. SEJARAH
SINGKAT WELFARE STATE
Konsep kesejahteraan negara
tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian
kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (socialservices).
Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang
menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.
Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori,
khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme,
Sosialisme, dan Sosial Demokratik (Spicker, 1995). Namun demikian, dan ini yang
menarik, konsep kesejahteraan negara justru tumbuh subur di negara-negara
demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis.
Di negara-negara Barat,
kesejahteraan negara sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’
kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare
state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’.Meski
dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa
Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare
state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya
tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis
maupun kapitalis.
Menurut J.M. Keyness
dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraanberanjak dari abad ke-18 ketika
Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikangagasan bahwa pemerintah memiliki
tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of
the greatest number of their citizens. Benthammenggunakan istilah
‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan ataukesejahteraan.
Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Benthamberpendapat
bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah Edi
Suharto/Welfare State/2006 5 sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang
menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu
diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham
mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi
pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak kesejahteraan
negara” (father of welfare states).
Tokoh lain yang turut
mempopulerkan sistem kesejahteraan negara adalah Sir William Beveridge (1942)
dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social
Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report,
Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai
‘the five giant evils’ yang harus diperangi (Spicker, 1995;
Bessant, et al, 2006). Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem
asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari
buaian hingga liang lahat (from cradle to grave). Pengaruh laporan
Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain
di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan
skema jaminan sosial di negaranegara tersebut. Sayangnya, sistem ini memiliki
kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat
mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu
membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial
gagal merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus, seperti orang cacat, orang
tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperoleh pendapatan
dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga
seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan
dasar secara minimal.
Dalam konteks
kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif
untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang
disebut negara (Harris, 1999). Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan
pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan.
Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas
sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat
sistem kesejahteraan negara sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas
penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara
masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan
ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon
konsekuensi-konsuekensi kapitalisme.
E. NEGARA PENGANUT WELFARE STATE
Di negara-negara Barat,
kesejahteraan negara sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’
kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare
state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’.Meski
dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa
Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare
state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya
tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis
maupun kapitalis.
0 komentar:
Posting Komentar