Agama Islam
tersebar ke seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali ke Indonesia. Ada banyak
teori dan pendapat yang terdapat pada kisah masuknya ajaran Islam ke Indonesia.
Berikut ini dipaparkan teori dan pendapat para sejarawan asal mula masuknya
Islam ke Indonesia.
Masalah masuknya Islam ke
Indonesia dan dari daerah atau negara
mana Islam datang, banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli sejarah. Pertama, Islam sudah datang ke Indonesia
sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7. Di antara ilmuwan yang menganut
teori ini adalah, J.C. Van Leur, Hamka, Abdullah bin Nuh, D. Shahab dan T.W
Arnold.
Menurut J. C. Van Leur, pada tahun 675
di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan Arab Islam. Dengan
pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton
pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan pada tahun 618 M
dan 628 M. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini
mulai mempraktikan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan
Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara.
Sementara menurut T.W Arnold dan Hamka,
Islam masuk ke Indonesia sudah terjadi sejak abad ke-7. Hal ini didasarkan pada
kenyataan sejarah bahwa bangsa Arab sudah aktif dalam lapangan perniagaan laut
sejak berabad-abad pertama Masehi.
Mereka telah lama mengenal jalur perdagangan laut melalui Samudera Indonesia. Pendapat ini juga
didukung oleh Abdullah bin Nuh dan D. Shahab. Mereka menyatakan bahwa sejak abad
ke-7 sudah terjalin hubungan dagang antara Indonesia dengan dunia Arab.
Hal tersebut bukan saja dibuktikan oleh
sudah adanya perkampungan perdagangan Arab di pantai Barat Sumatera, tetapi
oleh tulisan-tulisan yang dikarang oleh penulis-penulis Arab yang
mengindikasikan bahwa mereka sudah sangat mengenal lautan Indonesia. Di antara
penulis-penulis Arab tersebut adalah Sulaiman (850 M), Ibnu Rusta (900 M) dan
Abu Zaid. Mereka menjelaskan bahwa pelaut-pelaut Arab Islam telah mengenal
sekali laut Indonesia. Selain itu dijelaskan pula bahwa bangsa Arab telah
mengenal pertambangan timah yang dikuasai oleh Zabaj, yang menurut Sir Thomas
W. Arnold adalah Sriwijaya.[1]
Teori kedua, menyatakan bahwa Islam
datang di Indonesia pada abad ke-13. Di antara sejarawan yang menganut teori
ini adalah C. Snouck Hurgronje dan Bernard H. M. Vlekke didasarkan pada
keterangan Marcopolo yang pernah singgah beberapa lama di Sumatera untuk
menunggu angin pada tahun 1292 M. Ketika itu dia menyaksikan bahwa di Perlak -di
ujung utara pulau Sumatera- penduduknya telah memeluk agama Islam. Namun dia
menyatakan bahwa Perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di Nusantara ketika
itu.[2]
Adapun asal daerah Islam Indonesia,
paling tidak ada tiga pendapat. Pertama,
berasal dari India. Menurut Pijnapel, Islam Indonesia berasal dari India,
terutama dari Gujarat dan Malabar. Pendapat tersebut didukung oleh sejarawan
Barat seperti, W. F. Stutterheim, J. C. Van Leur, T. W. Arnold Vlekke, Schrieke
dan Cliford Geertz. Menurut W. F. Stutterheim dalam bukunya De Islam enZijn Komst in the Archipel,
Islam di Indonesia berasal dari Gujarat dengan dasar batu nisan al-Malik
al-Saleh yang wafat pada tahun 1297 M.
Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa
relief nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan
yang terdapat di Gujarat. Sementara itu, Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya Nusantara: A History of Indonesia,
mengatakan bahwa nisan al-Malik al-Saleh selain mempunyai kesamaan dengan yang
ada di Cambay, juga diimpor dari sana pula, karena Cambay merupakan pusat
perdagangan Islam abad ke-13. Pendapat tersebut diperkuat dengan kenyataan
sejarah yang lain yaitu persamaan ajaran mistik Islam di Indonesia dengan yang
berkembang di India.[3]
Kedua, berasal dari Benggali (sekarang
Bangladesh). Pendapat ini dikemukakan oleh S. Fatimi, seorang guru besar asal
Pakistan. Dengan bersandar kepada pendapat Marcopolo dan Tome Pires, S. Fatimi
menyimpulkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai pasti berasal dari Benggali. Hal ini
dikuatkan dengan terjalinnya hubungan niaga Benggali dan Samudera Pasai sejak
zaman purba. Menurut Tome Pires, di samudera Pasai sendiri banyak orang-orang
Benggali yang bermukim di daerah tersebut. Namun pendapat ini ditentang oleh
Drewes dengan menggunakan pendekatan ajaran fiqih. Menurutnya, penduduk
Benggali bermadzhab Hanafi, sementara penduduk Indonesia mayoritas Syafi’i.
Ketiga,
berasal dari Arab. Pendapat ini
dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, Syekh Muhammad Naquib
al-Attas, dalam bukunya yang berjudul Islam
dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dan mayoritas tokoh-tokoh Islam Indonesia
seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh. Bahkan Hamka menuduh teori yang mengatakan
Islam datang dari Gujarat adalah propaganda, bahwa Islam yang datang ke Asia
Tenggara itu tidak murni.[4]
Dari teori Islamisasi oleh Arab dan
China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat
Islam Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke
Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para
pedagang dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak
ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah
tentang China yang berjudul Chiu Thang
Shu. Menurut buku ini, orang-orang Ta
Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik
ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti
yang sama menerima delegasi dari Tan Mi
Mo Ni’, sebutan untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan,
bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni’ itu
merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa
Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.[5]
Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi
muslim yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Dinasti Umayyah saja,
terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti
Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China. Bahkan pada pertengahan
abad ke-7 Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah
Kanton dan Kanfu. Sumber tentang versi ini juga dapat diperoleh dari
catatan-catatan para peziarah Budha-China yang sedang berkunjung ke India. Mereka
biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan kunjungan ke
China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah tujuan,
kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran Nusantara.
Beberapa catatan lain menyebutkan,
delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza,
sebutan lain dari Sriwijaya. Mereka umumnya mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya
yang sangat dikenal pada masa itu. Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd
al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak tahun100 hijriah atau 718 Masehi, sudah
terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri
Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz.[6]
Lebih jauh, dalam literatur China itu
disebutkan bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatera
saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675
Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab)
yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber
ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima,
penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.
Pada periode berikutnya, proses
Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig
yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali
Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh
pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah, Surabaya,
Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur. Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus, dan
Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam
berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah
dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam
pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa
ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa.
Selain berdakwah dengan tradisi, para
Wali Songo itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai
tempat untuk menelaah ajaran-ajaran Islam, sekaligus sebagai tempat pengaderan
para santri. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga
pendidikan yang paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren Giri di
Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri telah berhasil mendidik ribuan santri yang
kemudian dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia
Timur lainnya.[7]
Proses
masuknya Islam ke Indonesia ini (saluran Islamisasi) melalui berbagai
pendekatan. Sedikitnya ada enam pendekatan yang dikemukakan oleh Uka
Tjandrasasmita, yaitu: pendekatan perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,
kesenian dan politik.[8]
Pendekatan perdagangan ini sangat
menguntungkan karena diikuti oleh kaum elit/bangsawan yang ada pada waktu itu.
Perilaku pedagang muslim yang sangat simpatik akhirnya menarik para bangsawan
untuk memeluk ajaran Islam. Dengan modal status sosial (kekayaan) yang lebih
baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, menjadi daya tarik tersendiri
bagi puteri-puteri bangsawan untuk menikah dengan saudagar-saudagar muslim,
sehingga proses Islamisasi berjalan dengan cepat. Demikianlah yang terjadi
dengan Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila dan Sunan Gunung
Djati dengan Kawunganten.
Jalur lain adalah tasawuf, yaitu proses
Islamisasi dengan mengajarkan teosofi dengan mengakomodir nilai-nilai dan
budaya bahkan ajaran agama yang ada ke dalam ajaran Islam, dengan tentu saja
terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga mudah
dimengerti dan diterima. Kemudian melalui jalur kesenian dengan mengambil seni
yang pada waktu itu sangat digemari rakyat dengan mengubah ke nuansa yang lebih
Islami. Barangkali cara ini yang sering digunakan oleh Sunan Kalijaga seperti
kesenian wayang.
Islamisasi juga dengan menggunakan
pendekatan politik, yaitu dengan mengislamkan para raja terlebih dahulu. Hal
ini karena pengaruh raja -secara politis- banyak menarik penduduk untuk masuk
Islam. Sebagaimana yang terjadi di Jawa, Maluku, Sumatera, dan Kalimantan. Dan
yang terakhir, melalui jalur pendidikan, yaitu dengan mendirikan pesantren yang
kemudian disusul penyebarannya oleh para santri yang telah lulus dari pesantren.[9]
Kesimpulan
Meski Islam datang pertama kali di
kawasan Jazirah Arab, di mana pada tingkat tertentu pengaruh kehidupan tradisi
Arab tidak bisa dihindari. Akan tetapi, memaksakan Islam yang sepenuhnya sesuai
dengan budaya lokal masyarakat Arab itu jelas bukan menunjukkan nilai universal
islam yang sebenarnya. Malah terkadang pemaksaan terhadap budaya Arab justru
akan menyebabkan tercerabutnya masyarakat dari akar budayanya sendiri.
Oleh sebab itu, penting untuk
disebutkan bahwa Islam yang kini menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia,
merupakan hasil proses panjang pengalaman inkulturasi budaya –yang tentu saja-
mengilustrasikan adanya sebuah dialektika intensif antara ajaran-ajaran inti
Islam dengan tradisi dan tata nilai masyarakat Indonesia. Sehingga Islam tampak
sebagaimana tradisi asli yang sulit dihilangkan begitu saja.
Maka, wajah Islam yang mengalami
inkulturasi dengan sebuah tradisi tertentu akan mengandaikan dua hal yang
menunjukkan tentang intensitas Islam sebagai agama universal. Pertama, interpretasi terhadap ajaran
Islam akan dipahami sesuai dengan konteks zaman dan tempat di mana ia
berkembang. Kedua, ajaran islam akan
tampak lebih dinamis dan progresif dalam merespons tantangan yang dihadapi oleh
masyarakatnya. Dan dengan demikian, Islam dapat menjadi inspirator dalam setiap
perubahan sosial sebuah masyarakat.
http://penaraka.blogspot.com/2012/12/awal-masuknya-islam-ke-indonesia.html
1 komentar:
sungguh sangat gigih perjuangan para wali songo itu......
Posting Komentar